SHALAT TARAWIH
KEUTAMAAN, JUMLAH RAKA’AT PILIHAN NABI
ATURAN DAN KEBOLEHAN SHALAT TARAWIH
LEBIH DARI 11 RAKA'AT
Shalat ini dinamakan tarawih yang
artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat
setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail
atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan
Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan
Ramadhan.
Adapun shalat tarawih tidak
disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus
dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar
fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di
malam mana saja.
Para ulama sepakat bahwa shalat
tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah,
Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat
dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih
merupakan salah satu syi’ar Islam.
Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama
Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah
berpendapat bahwa lebih afdhol shalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah
sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu
‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih
secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga
serupa dengan shalat ‘ied.
KEUTAMAAN SHALAT TARAWIH
Pertama, akan
mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam
Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam
Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.
Hadits ini memberitahukan bahwa
shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu
membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah,
bukan karena riya’ atau alasan lainnya.
Yang dimaksud “pengampunan dosa”
dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan
tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi
mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk
dosa kecil.Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam
penuh.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya.
Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ
لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam
sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8] Hal
ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih
secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.
Ulama-ulama Hanabilah (madzhab
Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang
dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa
dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat
rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat
yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat
gerhana) kemudian shalat tarawih.
SHALAT TARAWIH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA
SALLAM
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman,
dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى
رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan
Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ
لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ
بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا
مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ
اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ
الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى
الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ
عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di
masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada
waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam
berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan
beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian
tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid
semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang
keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya
untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap
kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya
aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut
shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.”
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada
beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan
qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa
dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan
bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau
shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya.
Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak
menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan,
“Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang
mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat
(tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
“Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan
Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits
‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga
bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih
mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.”
JUMLAH RAKA’AT SHALAT TARAWIH YANG
DIANJURKAN
Jumlah raka’at shalat tarawih yang
dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam
hadits-hadits yang telah lewat.
Juga terdapat riwayat dari Ibnu
‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ
عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan
Muslim no. 764).
Sebagian ulama mengatakan bahwa
shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang
dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari. Di antara dalilnya adalah ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ
اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu
dengan melaksanakan shalat dua rak’at yang ringan.”
Dari sini menunjukkan bahwa
disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih
dahulu.
BOLEHKAH
MENAMBAH RAKA’AT SHALAT TARAWIH LEBIH DARI 11 RAKA’AT?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama
belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,
“Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu.
Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan
perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau
juga boleh mengerjakan banyak.”
Yang membenarkan pendapat ini adalah
dalil-dalil berikut :
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
mengenai shalat malam, beliau menjawab,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ
أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at-dua
raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka
kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan
witir.”
Padahal ini dalam konteks
pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan
cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ
اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah
melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat
bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”
Dalil-dalil ini dengan sangat jelas
menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak
raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.
Keempat, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari
tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri,
sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan
tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan
tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau
tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan
tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa
yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at
tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan,
sungguh dia telah keliru.”
Alasan ketiga, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan
shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja
beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun
tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah
tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas.
Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan
dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada dalil yang bertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di
zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang
begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki
inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama
menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin
Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian
melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap
raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan
semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan
bacaan yang begitu panjang.”
Keenam, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at
dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu
dua jam atau tiga jam?
Yang satu mendekati perbuatan
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at.
Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih
baik?
Jawabannya, tentu yang kedua yaitu
yang shalatnya lebih lama dengan raka’at yang lebih banyak. Alasannya,
karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat
malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali
tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan pada sebagian dari malam,
maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang
panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)
Oleh karena itu, para ulama ada yang
melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang
panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula
yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka
inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul
qunut (berdiri yang lama).
Sampai-sampai sebagian ulama
memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan
membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at
yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat,
hendaklah ia menambah raka’atnya.”
Mengapa ulama ini bisa mengatakan
demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika
shalat malam.
BERBAGAI PENDAPAT MENGENAI JUMLAH
RAKA’AT SHALAT TARAWIH
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13
raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah
pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at
shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena
inilah yang dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah
pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir).
Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i,
Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya.
Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar
mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20
raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini
menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan,
“Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan
tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat
tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah
20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan
hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat
tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga
hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini
amatlah banyak.”
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir.
Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois,
dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir.
Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam
sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal
melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan jumlah raka’at yang tak
terhitung sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah, anaknya.
Kesimpulan dari pendapat-pendapat
yang ada sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah
raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan
dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah
melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah
kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus
melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at,
sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu,
demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak
mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam
dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak
dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan
pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat
puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau
lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan
para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan
ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang
menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan
tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih
atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.
Dari penjelasan di atas kami
katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi
permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami
yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10
raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23
raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Yang Paling Bagus adalah Yang
Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada
masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah
yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun
berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at
dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas
ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang
lama berdirinya.”
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ
يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan
hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar
khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron)
dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada
thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.
Oleh karena itu, tidak tepat jika
shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang
dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan
lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan.
Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan
kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah
bagian dari rukun shalat.
ATURAN SHALAT TARAWIH
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqih berpendapat bahwa
shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih
termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at
salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam adalah dua raka’at
dua raka’at.”
Istrihat Tiap Selesai Empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang
disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at.
Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa
kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca
do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam
madzhab Hambali.
Dasar dari hal ini adalah perkataan
‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan
panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka
janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.”
Yang dimaksud dalam hadits ini
adalah shalatnya dua raka’at salam, dua raka’at salam, namun setiap empat
raka’at ada duduk istrirahat.
Sebagai catatan penting, tidaklah
disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat
setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan
sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui
bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam.
Ulama-ulama Hambali mengatakan,
“Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih
ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu
istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.”
“Ash Sholaatul Jaami’ah” untuk
Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih?
Tidak ada tuntunan untuk memanggil
jama’ah dengan ucapan Ash Sholaatul Jaami’ah. Ini termasuk perkara yang
diada-adakan (baca: bid’ah). Juga dalam shalat tarawih tidak ada seruan adzan
ataupun iqomah untuk memanggil jama’ah karena adzan dan iqomah hanya ada pada
shalat fardhu.
Surat yang Dibaca Ketika Shalat
Tarawih
Tidak ada riwayat mengenai bacaan
surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan
keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah
bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang
panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah
kami sebutkan.
Ada anjuran dari sebagian ulama
semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan
Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika
melaksanakan shalat tarawih.
Mengerjakan Shalat Tarawih Bersama
Imam Hingga Imam Selesai Shalat
Sudah selayaknya bagi makmum untuk menyelesaikan
shalat malam hingga imam selesai. Dan kuranglah tepat jika jama’ah bubar
sebelum imam selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ
لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam
sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”
Jika imam melaksanakan shalat
tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama
imam. Itulah yang lebih tepat.
Shalat Tarawih bagi Wanita
Jika menimbulkan godaan ketika
keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih
utama bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari
Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila
dapat shalat bersama beliau.
Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ … وَصَلاَتُكِ
فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى
مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى
”Aku telah mengetahui bahwa
engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. … (Namun ketahuilah
bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan
shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”
Namun jika wanita tersebut merasa
tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah
malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan
hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran
dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah
yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling
mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al
Qur’an dari seorang qori’ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti
ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi
wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna,
keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum), dan keluarnya pun dengan izin
suami.
Apabila wanita berkeinginan
menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi),
hendaklah suami tidak melarangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ
خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang
istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita)
tentu lebih baik.”
Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga bersabda,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ
فَأْذَنُوا لَهُنَّ
“Jika istri kalian meminta izin
pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.”
Inilah penjelasan Syaikh Musthofa Al
Adawi hafizhohullah yang penulis sarikan.
Dari penjelasan para ulama di atas
dapat kita simpulkan bahwa shalat tarawih untuk wanita lebih baik adalah di
rumahnya apalagi jika dapat menimbulkan fitnah atau godaan. Lihatlah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengatakan bahwa shalat bagi wanita di
rumahnya lebih baik daripada di masjidnya yaitu Masjid Nabawi. Padahal kita
telah mengetahui bahwa pahala yang diperoleh akan berlipat-lipat apabila
seseorang melaksanakan shalat di masjid beliau yaitu Masjid Nabawi.
Namun apabila pergi ke masjid tidak
menimbulkan fitnah (godaan) dan sudah berhijab dengan sempurna, juga di masjid
bisa dapat faedah lain selain shalat seperti dapat mendengar nasehat-nasehat
dari orang yang berilmu, maka shalat tarawih di masjid diperbolehkan dengan memperhatikan
syarat-syarat ketika keluar rumah. Di antara syarat-syarat tersebut adalah:
(1) menggunakan hijab dengan
sempurna ketika keluar rumah sebagaimana perintah Allah agar wanita memakai
jilbab dan menutupi seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan,
(2) minta izin kepada suami atau
mahrom terlebih dahulu dan hendaklah suami atau mahrom tidak melarangnya,
(3) tidak menggunakan harum-haruman
dan perhiasan yang dapat menimbulkan godaan.
Alhamdulillahilladzi bi